hari ini, hujan tidak menyapaku. hujan tidak menghampiriku. disaat ketika aku membutuhkannya. disaat ketika aku merindukan sosoknya, seperti saat itu. hari ini, aku sendiri, tanpa hujan menemaniku.
sore kala itu, aku masih mengingatnya dengan jelas. hari dimana dia mengatakan semuanya. semua hal yang menurutnya adalah yang terbaik untuk kami. tidak, bukan untuk kami, tapi untuk dia. tidak untukku.
dia mengatakannya dengan perlahan. perlahan dan perlahan, seperti ketika ia sedang mengenakan sebuah syal yang terbuat dari benang sutra terlembut didunia, namun dia ingin melepaskannya, tetapi dia tidak ingin melepasnya dengan menimbulkan kerusakan sedikit pun pada syal itu.
seperti itu lah aku dicampakkan. perlahan, tapi sangat menyakitkan. dia mengucapkannya dengan lembut. dengan yakin, dan dengan tatapan mata yang sangat bersungguh-sungguh.
ya, dia tidak lagi membutuhkan kehangatan dari syal itu. meski syal itu terbuat dari benang terlembut di dunia sekalipun, tetapi dia tidak lagi membutuhkannya. dia telah menemukan sebuah syal baru, yang meskipun tidak selembut syal sebelumnya, tetapi dia merasakan kenyamanan yang tidak dirasakannya pada syal terlembut itu.
sore itu, matahari telah pergi. matahari telah menyembunyikan dirinya. menghindari diri dari pertengkaran hebat kami. ya, aku memberontak. memaki ketidak adilan. menangisi kenyataan. kenapa ini? kenapa seperti ini? kenapa begitu perih?
ketika itu lah aku menangkap satu hal dari matanya. suatu kesungguh-sungguhan. dia bersungguh-sungguh. dia tidak berbohong. tidak sedang membuat alasan. tidak sedang berucap dusta. dan tidak sedang memberikanku sebuah batu besar yang bisa menghancurkanku dengan seketika. dia jujur. dia apa adanya. dia hanya ingin menghargaiku. menghargai perasaanku.
dan ketika itu hujan datang. hujan menghampiri kami. hujan seakan ikut menangis bersamaku. menangis karna kami. ataukah mungkin hujan ingin melindungi dia? dia yang pada saat itu ikut menangis bersamaku. menangisi kenyataan. menangisi sebuah penyesalan. dan menangisi sesuatu yang tidak dapat dia hindari, meski berusaha sekeras apapun itu.
aku hancur. disaat hujan dengan suaranya yang membungkam isak tangisku saat itu. tapi aku merasa lega. lega atas keberadaan hujan kala itu. aku bersyukur. hujan menemaniku menangis saat itu. aku bersyukur, hujan memberikanku ruang untuk mengungkapkan segala kegundahanku.
hey hujan, saat ini pun aku membutuhkanmu. tahu kah kau, dia datang. dia kembali. dan dia berlutut dihadapanku, dengan isak tangisnya yang telah pecah.
tidak hujan. dia tidak berlutut untuk memintaku kembali padanya. kau ingat bukan, dia telah menemukan syal baru yang jauh lebih bisa membuatnya nyaman, lebih dari pada saat dia memiliki syal terlembut di dunia. lalu kenapa dia berlutut sambil menangis padaku? ya, syal itu, syal yang membuatnya beralih dariku, kini telah tiada. dia pergi, meninggalkan seseorang yang telah ku ikhlaskan untuk bersamanya, yang kuharapkan mendapat kebahagian darinya, dan yang ku doakan agar selalu dilimpahkan kasih sayang untuknya. kini dia telah pergi, dan tak akan bisa kembali.
lalu apa yang harus kulakukan hujan? aku ingin menangis. tapi kau sedang tidak ada. sedang tidak bersamaku. air mataku pun seperti kau ajak menjauh dariku. tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibirku saat itu. aku hanya menatapnya dalam.
kenapa dunia ini tidak adil? tidak adil terhadapku, tidak adil terhadap dia, dan tidak adil terhadap mereka. tahu kah kau hujan, saat ini aku seperti sedang menonton sebuah film romance dengan sad ending. genre film yang sangat kusukai.
tapi pada saat ini, hal itu adalah hal yang paling tidak ku inginkan dan paling tidak kusuka. terutama jika hal itu terjadi padanya. pada laki-laki, yang telah mengembalikan syal ku demi meraih syal dari perempuan lain.
karna sekarang, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dibalik semua rasa sayang ini, untuk menjadikannya sebuah akhir cerita yang bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar